Hal yang Sering Dilupakan
Akhir akhir ini aku dipertemukan dengan orang yang berhasil membuat hatiku begitu iba sekaligus malu. Hampir satu minggu sekali aku bertemu dengan orang itu, orang yang sampai dengan saat ini belum aku ketahui namanya. Aku hanya tahu dia bahwa dia merupakan mahasiswa yang satu fakultas denganku. Aku harap dia tidak keberatan kalau di sini aku sedikit menceritakan semangat hidupnya yang begitu menginspirasi untuk sesama .
Hari itu tiba waktunya untuk melaksanakan sholat dzuhur, suara adzan sudah berkumandang dari masjid kampus. Karena jarak fakultasku cukup jauh dengan masjid kampus, kemudian karena setelah waktu sholat dzuhurpun masih ada kuliah, maka aku memilih untuk sholat di mushola fakultas saja. Saat sedang melepaskan sepatuku, aku melihat seorang laki-laki yang mohon maaf hanya mempunyai satu kaki. Dengan bantuan tongkat ia berjalan dari tempat wudhu ke tempat sholat. Pertama kali melihatnya aku langsung merasa iba dengan takdir yang harus dia terima.
Setelah pertemuan pertama itu, aku menjadi semakin sering melihatnya terutama setiap sholat berjamaah di mushola fakultas. Karena semakin sering melihatnya sholat berjamaah dengan kondisi yang seperti itu, akhirnya perasaan iba itu bertambah dengan perasaan malu. Aku membandingkan takdir kehidupan yang harus aku terima dibanding dengan takdir yang harus dia terima. Aku baru sadar bahwa takdirku tak sepaphit yang aku kira dan tidak ada apa-apanya dengan takdir yang ia terima.
Selama ini jujur saja, aku belum sepenuhnya dapat menerima kekurangan yang aku miliki, ketika aku teringat kekurangan yang aku miliki, aku selalu menjadi merasa minder. Akhirnya aku juga menyadari bahwa sikap minder pada diriku itu menandakan bahwa aku sering lupa bersyukur terhadap hidup yang aku jalani saat ini. Saking lupa bersyukurnya aku sering berandai-andai untuk menjadi orang lain yang menurutku memiliki kehidupan yang begitu menyenangkan jika dibandingkan dengan kehidupanku saat ini. Tentunya hal ini membuat diriku merasa tidak bahagia, karena aku terlalu sering melihat keatas dan lupa melihat kebawah.
Maka dengan momentum ini, kedepan aku akan selalu berusaha dengan serius untuk memaafkan dan menerima diriku sendiri. Sekaligus berusaha senantiasa sabar dan bersyukur atas apa-apa yang menimpa kehidupanku kedepan. Aku yakin dengan berusaha terus, perasaan mudah bersabar dan bersyukur akan terlatih dan bisa terus aku istiqomahkan.
Maka dengan momentum ini, kedepan aku akan selalu berusaha dengan serius untuk memaafkan dan menerima diriku sendiri. Sekaligus berusaha senantiasa sabar dan bersyukur atas apa-apa yang menimpa kehidupanku kedepan. Aku yakin dengan berusaha terus, perasaan mudah bersabar dan bersyukur akan terlatih dan bisa terus aku istiqomahkan.