MENJALANI HIDUP TANPA SELEBRASI
Bulan Oktober kemarin aku memasuki usia yang ke 23. Usia yang entah mengapa membuatku sudah merasa menjadi tua. Sekaligus merasa bahwa aku sudah kurang pantas disebut sebagai anak muda. Bisa jadi pun banyak orang juga yang merasakannya. Mungkin perasaan itu muncul akibat waktu yang kian hari kian cepat berlalu.
Waktu memang benar-benar terasa begitu cepat berlalu. Walaupun dari dulu jalannya waktu ya begitu, tidak bertambah cepat maupun menjadi lambat. Dari dulu sampai dengan sekarang yang namanya satu hari ya ada 24 jam. Perasaanlah yang membuat satu hari itu sudah tidak lagi terasa 24 jam. Melainkan bisa menjadi lebih sedikit dari itu.
Rasanya belum terlalu lama aku menulis perjalanan hidupku dengan judul Bertambah Usia, Momen Mengevaluasi Diri di blog ini. Tulisan tersebut tepat aku tulis di hari ulang tahunku yang ke 22. Nyleneh memang kalau dipikir, disaat mungkin umumnya orang merayakan ulang tahunnya dengan makan bersama keluarga, sahabat maupun pasangan, waktu itu aku justru malah memilih menulis dan merenung.
Sebenarnya di luaran sanapun aku yakin tidak sedikit orang yang sepertiku. Tidak pernah merayakan apa-apa di hari yang spesial di hidupnya. Terutama orang-orang yang cenderung memiliki kepribadian yang pendiam. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang tidak terlalu nyaman jika menjadi pusat perhatian. Sehingga ketika di hari spesialnya pun ia tak mau merayakan apa-apa agar ia tak menjadi pusat perhatian.
Sampai di ulang tahunku bulan kemarin aku belum pernah satu kali pun merayakan ulang tahun. Aku pun belum pernah merasakan rasanya mentraktir makan orang orang ketika ulang tahun. Hari ulang tahunku selalu terlewat begitu saja, tanpa ada momen yang mengesankan. Tak ada yang mengesankan atau mengharukan yang bisa aku ingat di hari ulang tahunku selama ini. Bukan hanya tidak pernah ada perayaan, bahkan aku juga sama sekali belum pernah merasakan rasanya menerima hadiah ulang tahun seperti orang pada umumnya.
Aku sudah terbiasa hidup tanpa sebuah perayaan. Hal itu harusnya tidak membuatku bersedih, karena ini merupakan konsekuensi hidup yang harus dijalani oleh orang yang memilih menjadi pendiam dan menikmati jalan kesendirian. Orang-orang sepertiku sudah pasti tidak begitu banyak memiliki teman. Aku hanya berteman sekadarnya saja dan cenderung pilah-pilih dalam berteman. Karena aku memang kurang bisa menyesuaikan dengan orang-orang yang berbeda frekuensi. Rasanya sulit jika harus ikut bersama mereka menghabiskan waktu dengan hal-hal yang bukan menjadi ketertarikanku. Alhasil ya kebanyakan aku hanya sekedar kenal saja dengan mereka. Tanpa ada hubungan yang terlalu dekat.
Semakin kesini aku semakin menyadari bahwa aku tidak banyak memiliki teman dekat. Karena hari-hari spesial dalam hidupku selalu terlewat begitu saja tanpa adanya momen yang berkesan. Dimulai dari hari sidang kelulusan sarjanaku tanggal 21 Juli, hari ulang tahunku 13 Oktober, sampai dengan belum lama kemarin 31 Oktober hari wisudaku. Aku melewati itu semua tanpa adanya perayaan maupun selebrasi. Wisuda merupakan salah satu momen bahagia dan berkesan dalam hidup seseorang. Namun di hidupku terasa begitu biasa saja. Apalagi wisudaku digelar secara daring, itu semakin membuat hari itu terasa biasa.
Foto saya ketika wisuda daring yang ditampilkan di website kampus
Begitulah sedikit kisah perjalanan hidupku yang biasa biasa saja. Menjalani hidup tanpa selebrasi aku pikir bukanlah sebuah kesalahan yang harus disesalkan atau dikeluhkan. Itu merupakan pilihan hidup yang harus dijalani. Tentu aku percaya dan yakin tetap ada manfaat juga yang bisa dirasakan dari Hidup Tanpa Selebrasi itu.