BULLYING - Sebuah Bekal Yang Tak Baik Bagi Masa Depan
Beberapa hari kemarin aku baru saja mengkhatamkan sebuah buku berjudul Aku Hidupku Humorku. Buku yang ditulis oleh Almarhum Pak Prie GS, seorang budayawan yang karismatik. Beliau sudah banyak menulis buku, dan salah satu buku yang membuatku begitu tertarik untuk membacanya adalah buku ini. Buku Aku Hidupku dan Humorku.
Ketertarikanku pada buku tersebut tak lain karena isinya yang bercerita tentang perjalanan hidup dari seorang Pak Prie. Mulai dari cerita masa kecil sampai beliau menjadi seorang suami bagi istrinya sekaligus bapak bagi anak-anaknya.
Seluruh bagian dari cerita perjalanan beliau ditulis dengan sangat menarik. Membuat aku tak ingin cepat-cepat merampungkan seluruh isi buku tersebut. Aku begitu menikmati setiap hal yang diceritakan oleh beliau.
Salah satu bagian yang aku nikmati betul dan ku baca dengan khusyu' ialah ketika beliau bercerita bahwa beliau pernah menjadi korban bullying pada masa kecilnya. Beliau seringkali menjadi objek olok-olokan oleh teman-temannya. Selain karena berasal dari keluarga yang tidak punya, masalah lainnya adalah pada fisik. Kedua hal tersebut merupakan kombinasi yang sempurna bagi teman maupun orang sekitarnya untuk berbuat semena-mena.
Sebagai orang yang pernah merasakan hal yang serupa, aku paham betul betapa menyakitkannya berada dalam situasi tersebut. Berenaka ragam cemoohan pernah aku dapatkan, terutama saat aku masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Cemoohan maupun ejekan tak lepas dari dua hal, yaitu kondisi fisik dan kemiskinan yang aku miliki.
Dari segi fisik, warna kulitku memang cenderung lebih gelap dari teman-temanku pada umumnya. Dari satu sisi ini saja aku sudah mendapatkan beraneka ragam cemoohan. Mulai dari disebut orang papua, orang afrika sampai sering dibilang tidak kelihatan karena mungkin saking gelapnya warna kulitku saat itu.
Belum lagi kekurangan kondisi mata yang aku miliki. Setelah mendapatkan ejekan, aku baru tau kalau kondisi mataku tidak normal sebagai mana anak pada umumnya waktu itu. Mataku memang bisa melihat dengan jelas, namun kedua mataku seringkali tidak kompak dalam memandang sebuah objek. Kondisi tersebutlah yang membuatku pada waktu itu mendapatkan berbagai sebutan seperti si juling, giceng, kerah dan lain-lain.
Jangan ditanya bagaimana rasanya mendapatkan ejekan-ejekan tersebut waktu itu. Rasanya pedih tak terhingga. Namun tak ada pilihan lain bagiku saat itu. Selain diam dan sesekali mencoba untuk tersenyum menerimanya. Di samping karena yang mereka ucapkan adalah kenyataan, kebanyakan dari mereka adalah dari keluarga yang lebih berada. Hingga nyali untuk membalas maupun melawan pun aku tak punya.
Selain fisik, kemiskinan juga tak ketinggalan menjadi bahan ejekan. Sebagai anak dari penderes (sebutan untuk petani gula jawa), aku pun tak luput jadi bahan ejekan. Ejekan jenis ini tidak terasa pedih sebenarnya, karena waktu itu cukup banyak temanku yang ayahnya berprofesi serupa. Hingga membuatku merasa tak sendirian menanggungnya. Namun celakanya, sebagai anak yang belum memiliki sikap hidup yang bijak, ejekan sebagai anak penderes membuat aku dan teman-teman yang mempunyai ayah sebagai penderes merasa rendah diri. Merasa malu jika ditanya apa pekerjaan ayah kami saat itu.
Gara gara ejekan anak penderes itulah kami dipaksa untuk tidak bangga dengan ayah kami. Merasa malu dan tidak bangga terhadap pekerjaan ayah sendiri adalah sebuah musibah besar bagi anak-anak. Padahal pekerjaan sebagai penderes adalah sebuah pekerjaan yang begitu heroik. Namun karena lingkungan yang salah menafsirkannya, pekerjaan itu justru malah menjadi objek olok-olokan tak berharga.
Semenjak aku masuk sekolah tingkat Tsanawiyah dan SMK ejekan yang aku terima sebelumnya sebenarnya sudah mulai mereda. Hampir sudah tidak ada kata-kata menyakitkan yang dulu terdengar di telinga. Jika pun ada, paling mereka hanya membicarkan kekuranganku di belakangku saja, tidak sampai mengatakannya langsung di depanku.
Walaupun sudah hampir tidak ada, ternyata bullying semasa kecil berhasil mendapatkan dampak yang luar biasa bagi diriku. Disisi lain aku menjadi pribadi yang boleh dibilang begitu penyabar dalam menghadapi suatu hal. Namun disisi lain aku menjadi pribadi yang rendah diri. Walaupun tak sampai derajat parah, namun sifat rendah diri ini barangkali sudah begitu banyak merenggut kesempatanku untuk menjadi pribadi yang lebih dari diriku yang sekarang.
Aku mulai belajar berdamai dan menerima kekurangan fisiku ketika aku kelas tiga SMK. Disitulah aku mulai belajar untuk tampil di depan, menjadi ketua kelas, memiliki cita-cita yang lebih besar dari sebelumnya. Mulai merasa bangga dengan kondisi keluarga, apapun yang kami punya. Sampai kepada aku menjadi santri sekaligus menjadi sarjana. Sebuah hal yang tak pernah aku cita-citakan sebelumnya. Barangkali sebenarnya aku belum sepenuhnya lepas dari pengaruh atau dampak bullying masa kecil yang aku alami. Namun sekarang aku merasa lebih baik dari diriku di masa lalu.
Lebih-lebih setelah aku mengenal dan mendengar cerita-cerita Pak Prie, baik dari buku maupun vidio-vidio ceramahnya. Bagiku beliau sosok yang begitu menginspirasi. Pak Prie adalah salah satu orang yang berhasil melawan dampak bullying di masa kecilnya. Beliau sanggup melewatinya dan menjadi pribadi yang menginspirasi dan begitu banyak dicintai oleh orang-orang. Pak Prie berhasil menjadikan sebuah penderitaan menjadi bahan baku kebahagiaan.
Namun tentunya tak semua orang bisa berhasil menjadikan bekal bullying masa kecil menjadi bahan baku untuk kesuksesan di masa depan. Barangkali banyak dari mereka yang selamanya hidup dalam rasa rendah diri yang begitu parah. Maka aku berharap korban-korban bullying tak akan ada lagi di masa sekarang dan masa yang akan mendatang. Karena sekali lagi, Bullying bukanlah sebuah bekal yang baik untuk masa depan.
Yogyakarta, 14 Dzulhijah 1442 H