JARUM SUNTIK DAN SIMBOL KEBRANIAN
Demi berpartisipasi dalam mempercepat program vaksinasi pemerintah dan juga sebagai bentuk ikhtiar untuk melindungi jiwa sendiri dan orang-orang di sekitarku, akhirnya aku memberanikan diri untuk ikut vaksin. Selama ini aku menunda untuk ikut vaksin bukan karena isu-isu negatif yang beredar di masyarakat mengenai vaksin. Bukan pula karena aku tidak mempercayai covid. Akan tetapi aku mengerti dan tau jika aku ikut vaksin artinya aku harus berususan dengan jarum suntik. Sebuah hal yang aku hindari sejak belasan tahun yang lalu.
Butuh menyiapkan mental berbulan-bulan agar aku siap untuk berurusan dengan jarum suntik. Terakhir kali aku berurusan dengannya ialah saat aku masih kelas 1 SD. Sungguh waktu yang sudah sangat lama sekali. Mengingat aku yang sekarang sudah lulus dari perguruan tinggi. Walaupun sudah sekian lama, rasa gugup dan tegangnya masih benar-benar aku ingat.
Sebagai bocah SD yang tidak memiliki banyak kebranian, jarum suntik bagiku adalah sebuah hal yang sangat menakutkan. Hari imunisasi bagiku jauh lebih menegangkan dari pada hari ujian nasional, bahkan lebih menakutkan dari pada hari dimana diriku dimarahi oleh guru tergalak di sekolahku.
Saat hari imunisasi itu tiba, aku begitu gugup, pikiranku sudah melayang-layang, memikirkan hal yang tidak-tidak . Sampai-sampai aku harus bersembunyi ke kantin sekolah. Harapanku baik guru maupun temanku tidak ada yang menemukanku. Agar aku tak perlu mendapat giliran untuk merasakan bagaimana rasanya jarum itu menembus lengan kiriku.
Aku berfikir untuk bersembunyi karena rasa ketakutanku berlipat-lipat ketika aku menyaksikan darah temanku yang terus mengucur setelah mendapatkan giliran disuntik. Jangan-jangan aku akan bernasib sama seperti itu, atau justru akan lebih parah?. Itulah pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiranku saat itu.
Namun akhirnya aku mencoba membuang segala pikiran negatifku saat itu, dan membranikan diri kembali ke kelas untuk mendapatkan giliran disuntik. Aku membranikan diri bukan tanpa alasan, melainkan karena rasa gengsiku yang begitu tinggi. Saat itu aku melihat temanku yang aku anggap lebih penakut dariku sudah mendapat giliran disuntik. Aku tidak ingin gelar murid paling penakut itu berpindah kepadaku. Apapun resikonya aku harus berani disuntik.
Tibalah saat giliranku disuntik. Aku sudah pasrah sepenuhnya, yang terpenting adalah gengsiku terselamatkan. Soal rasa sakit itu belakangan. Cusss nittttttt, rasa ngilu yang teramat itu mulai aku rasakan di lengan kiriku. Rasa seperti digigit semut itu memang murni sebuah pembohongan. Karena memang berbeda rasanya. Rasa digigit semut itu hanya terasa di kulit, tapi tusukan jarum itu terasa sampai ke dalam. Itulah yang membuat lenganku terasa begitu ngilu saat itu.
Namun betatapun ngilunya rasa itu, aku merasa lega. Karena pada akhirnya aku berhasil menyalamatkan gengsiku dan tidak jadi mendapat gelar murid paling penakut di sekolahku saat itu. Perasaan lega itu tak bisa dibandingkan dengan rasanya mendapatkan ranking 1 di kelas. Rasa lega telah di suntik jauh lebih tinggi daripada itu.
Barangkali rasa gengsi itu juga lah yang memberikanku kekuatan untuk memberanikan diri mengikuti program vaksin dari pemerintah hari ini. Aku tidak ingin dianggap laki-laki penakut. Aku ingin dianggap sebagai laki-laki yang pemberani. Walaupun sekedar berani disuntik. Sesederhana apapun itu kebranian tetaplah kebranian. Toh konon, kebranian sejati bukanlah dia yang tidak memiliki rasa takut, melainkan dia yang merasa takut tapi tetap mau mencoba.
AYO VAKSIN GUYS !
Yogyakarta, 4 September 2021