LAPANGAN YANG TAK DIRESTUI - AKU dan SEPAK BOLA 1

Sepak bola adalah sebuah hal yang tak bisa dipisahkan dari seoarang laki-laki. Aku cukup yakin bahwa rasanya tidak ada laki-laki yang sama sekali tidak pernah bermain bola. Terlepas dari ia menggemarinya atau tidak, tapi minimal ia pernah satu kali dalam seumur hidupnya memainkan permainan itu. Bermain sepak bola tidak harus di lapangan yang luas, tidak harus ada tiang gawang, apalagi wasit. Cukup sebuah bola dan teman bermain, maka kita sudah bisa merasakan betapa gembiraanya memainkan permainan itu.

Aku adalah salah satu laki-laki yang menghabiskan masa anak-anak dan remajaku dengan bermain sepak bola. Jauh sebelum masuk TK aku sudah mengenal sepak bola. Teman-teman sekitar rumahlah yang mengenalkanku dengan sepak bola. Hampir setiap sore di dekat rumahku pasti ada pertandingan sepak bola. Waktu sore menjadi waktu yang paling dinanti-nanti bagi anak-anak di daerah kami saat itu. Sesenang-senangnya menonton televisi, tetap kalah dengan kesenangan bermain bersama teman. Karena bagaimanapun keramaian adalah sumber kebahagiaan anak-anak saat itu.

Namun,  jangan dibayangkan pertandingan itu dilakukan di lapangan yang luas. Melainkan saat itu hanya dilakukan di sebuah jalan yang belum beraspal. Tidak ada rumput, dan seluruhnya hanya tanah. Lebarnya pun bisa dibilang tidak lebih dari tiga meter. Panjangnya jika diingat sepertinya hanya sepanjang lapangan badminton. Jadi bisa dibayangkan betapa sempitnya lapangan yang kami miliki saat itu. Akan tetapi tempat yang tak layak disebut sebagai lapangan itu sanggup memberikan banyak sekali kegembiraan kepada kami. 

Apalagi jika hujan datang, sempurna sudah kegembiraan kami saat itu. Jalan yang belum beraspal itu berubah menjadi arena pertarungan yang sungguh mengasyikan. Lumpur dan cipratan air mewarnai dengan indah pakaian kami. Tidak ketinggalan tubuh kami pun seketika berubah menjadi coklat seluruhnya. Walaupun mengasyikan, kami juga harus menanggung konsekuensinya. Salah satu konsekuensinya adalah kemarahan orang tua. 

Bagaimanapun baju yang sudah berubah warna itu orang tua kami lah yang akan mencuci. Ditambah lagi biasaya kami mengakhiri pertandingan sepak bola saat hari sudah mulai gelap menjelang maghrib. Semprotan dari orang tua sudah menjadi barang yang pasti. Namun yang namanya anak-anak tentu tidak ada kapoknya. Kejadian itu terus berulang dan berulang lagi.

Tidak hanya teguran dari orang tua saja, melainkan dari warga sekitar pun juga cukup sering. Bagaimanapun tempat yang kami jadikan sebagai lapangan itu merupakan sebuah jalan yang dilewati banyak orang. Ketika selesai dipakai untuk bermain bola, sudah pasti jalan itu menjadi sangat licin dan sulit dilalui warga. Namun lagi-lagi teguran yang kami terima hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Kami tetap mengulanginya lagi dan lagi.

Sampai pada puncaknya jalan yang biasanya kami jadikan lapangan itu akhirnya dilapisi krikil oleh warga, dan tepi jalannya pun akhirnya dilakukan pengecoran.  Semua dilakukan salah satunya agar jalan tersebut tidak lagi dijadikan lapangan bola oleh kami. Apa boleh buat, kami pun berhenti untuk bermain bola di jalan tersebut. Kalau tidak salah kami cukup lama tidak bermain bola lagi, sampai akhirnya kami berfikir untuk mencari tempat lain untuk dijadikan lapangan.

 

  

Photo by VietNam Beautiful on Unsplash

 

Kami pun menemukan sebuah ladang warga yang tidak cukup jauh dari jalan yang sebelumnya kami gunakan. Entah dari mana kebranian kami saat itu sehingga memutuskan ladang warga itu kami jadikan sebagai lapangan. Tentunya kami melakukannya tanpa izin dari sang pemilik.  Kami berfikir sangat sederhana saat itu, semoga si pemiliki ladang ikhlas jika ladangnya kami jadikan tempat bermain bola. Toh ladangnya sepertinya kurang terawat karena dipenuhi dengan rumput-rumput liar. Sehingga tanpa berfikir panjang kami pun langsung menjadikannya lapangan bola baru bagi kami.

Cukup lama kami bertahan di lapangan itu, mungkin sampai satu atau dua tahun. Tentu semuanya tidak berjalan mulus-mulus saja. Beberapa kali kami harus membubarkan pertandingan secara paksa, karena pemilik ladang secara tiba-tiba datang untuk menengok ladangnya. Kami pun membubarkan diri dengan berlari sekencang-kencangnya menuju tempat yang kami pikir aman.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url