Empati VS Pengetahuan
Akhir-akhir ini timeline media sosial kita dipenuhi oleh begitu banyak kabar yang menyedihkan. Kabar duka tersebut didominasi kebanyakan oleh kaum perempuan sebagai korbannya. Mulai dari korban pelecehan seksual, perselingkuhan, pemerkosaan, sampai dengan pembunuhan. Sebagai laki-laki aku merasa sangat prihatin dengan kasus-kasus yang terjadi belakangan ini. Aku melihat bahwa dunia ini sudah begitu tidak amannya bagi kaum perempuan. Di mana pun tempatnya, selalu ada saja ancaman ataupun potensi bagi perempuan untuk menjadi salah satu korban dari beberapa perbuatan keji di atas.
Photo by Jon Tyson on Unsplash
Belum lama ini ada kejadian yang membuat kita tak habis pikir. Kasus pelecehan dimana korbannya adalah perempuan yang sedang melaksanakan sholat di masjid. Ini sungguh di luar nalar kita semua, kok ya ada laki-laki yang setolol itu. Rasanya bahkan orang dengan gangguan jiwa pun tidak akan melakukan hal seperti itu. Lah ini kok laki-laki paruh baya waras bedigas tapi akalnya itu lo ditaruh di mana.
Adalagi perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual oleh dosennya sendiri. Kasus semacam ini ternyata banyak sekali terjadi di Indonesia. Dosen yang seharusnya menjadi pembimbing bagi mahasiswinya malah melakukan perbuatan yang sangat mengancam masa depan dari mahasiswinya. Lagi-lagi kampus yang seharusnya memberikan tempat yang aman bagi perempuan pun ternyata menyimpan begitu banyak kepedihan.
Itu hanya segelintir kasus dari begitu banyaknya kasus yang terekpos di media sosial. Tentu kasus yang tidak terekspos pasti lebih banyak. Hanya saja keberanian untuk speak-up tidaklah mudah bagi para korban. Sudah banyak contohnya dimana korban berusaha speak-up namun keadilan tak pernah memihak kepada mereka. Belum lagi ada sebagian dari masyarakat kita yang justru tak berdiri di pihak korban.
Kita bisa dengan mudah menemukan komentar-komentar di media sosial yang seakan-akan malah menyudutkan korban ketika ada kasus kekerasan seksual. Seperti menuduh korban yang memancing duluan dengan memakai pakaian ketat, seksi, dll. Tak ketinggalan para manusia sok suci yang memberikan ceramah panjang kepada pihak korban pun dengan mudah kita temukan.
Mereka memberikan nasehat ini itu, pentingnya ini itu kepada korban. Sebetulnya tak ada yang salah dari nasehat itu, hanya saja mereka salah tempat dan waktu. Mereka adalah menusia-manusia sok pintar tapi minim empati. Bayangkan saja misal saja ada warga yang baru bercerita kalau rumahnya kemalingan atau kerampokan. Kemudian tiba-tiba anda langsung menasehatinya dengan enteng "makanya kalau bikin rumah itu yang aman, kasih pager, kasih cctv, kasih penjaga sekalian! lihat tuh rumah aku selama ini aman karena aku pinter ngejaga". Orang-orang begini ngeselin kan?, bukannya berempati dengan si korban eh malah ngasih nasehat panjang lebar.
Di sinilah pentingnya selain berpengetahuan kita juga harus bisa berempati. Empati adalah soal kita berusaha untuk merasakan apa yang dialami korban, kemudian jika kita memang tak bisa memberikan mereka dukungan ya sudah cukup diam dan doakan mereka. Bukan malah pamer menunjukan pengetahuan kita yang engga seberapa itu.